Dialektika Sistem Pendidikan Nasional

IQROZEN. Dunia pendidikan Indonesia hingga detik ini belum mampu mengurai kusutnya problematika sistem pendidikan nasional. Berbagai kasus yang silih berganti terjadi di lingkungan pendidikan, secara umum menunjukkan masih terpuruknya kualitas pendidikan bangsa ini. Meski berbagai upaya telah dan terus dimodifikasi untuk membangun sistem pendidikan nasional yang bermartabat.

Mulai dari perubahan kurikulum, peningkatan kualitas pendidik, hingga digelontornya berbagai tunjangan. Semua itu diharapkan dapat memajukan sistem pendidikan nasional yang menjadi wadah pengkaderan generasi bangsa. Namun apa hendak dikata, secara kasat mata tampak pendidikan Indonesia masih saja terseok-seok dalam menjalankan fungsinya yang salah satunya adalah untuk mencerdaskan anak bangsa.

Mirisnya lagi, tingkat kekerasan yang terjadi di lingkungan lembaga pendidikan justru meningkat drastis beberapa waktu belakangan ini. Kekerasan yang berupa perkelahian antar pelajar, bullying, pelecehan seksual, serta penyimpangan lainnya yang melibatkan fisik dan sepatutnya tidak terjadi di lembaga pendidikan. Baca juga :Kontroversi Kurikulum Pendidikan Nasional

Meminjam informasi dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), bahwa kasus kekerasan yang dilaporkan ke pihak kepolisian mengalami peningkat 20 persen pada tahun 2013 yang lalu. Ditandai dengan sejumlah perilaku kekerasan dan asusila di lingkungan sekolah oleh oknum guru, tindak kekerasan di kampus yang merenggut nyawa generasi bangsa saat ospek.
(Lihat:http://www.jpnn.com/read/2014/01/02/208719/Angka-Kekerasan-di-Dunia-Pendidikan-Meningkat-).
Problema Pendidikan Indonesia

Hebohnya lagi, kasus bullying yang baru saja terjadi di salah satu sekolah dasar swasta yang ada di Bukit Tinggi. Dimana, dalam rekaman video yang tersebar di youtube menunjukkan seorang gadis kecil dipukuli dan ditendangi oleh beberapa teman sekelasnya. Kejadian ini tentu menodai pelaksanaan Kurikulum 2013 yang katanya mengedepankan penilaian sikap dan agama. Lalu, apa sebenarnya permasalahan dasarnya? Siapa yang seharusnya bertanggungjawab?

Dari sekilas studi kasus tersebut, perbaikan secara mendasar pada sistem pendidikan nasional menjadi harga mati. Diperkuat dengan penguatan figuritas baik itu pendidik maupun orang-orang dewasa lainnya yang ada di sekitar anak-anak bangsa. Harapannya, para calon generasi bangsa tersebut dapat meneladani perilaku positif yang telah dicontohkan kepadanya oleh siapa saja yang ada di sekitarnya.

Banyak ahli telah menyampaikan jika naluri ‘meniru’ begitu dominan dalam diri anak usia sekolah, terutama TK dan SD. Naluri inilah yang mengantarkan anak belajar cara hidup dari orang dewasa yang ada di sekelilingnya. Hal ini tentu akan menjadi bumerang apabila yang ditiru adalah perilaku menyimpang, yang dalam era sekarang ini begitu banyak dipertontonkan, baik nyata maupun lewat media.

Mari kita renungkan, seperti apa kelak generasi bangsa yang kehidupannya kini dicekoki pendidikan politik praktis. Politik yang hanya mengedepankan kepentingan individu / golongan dan menjatuhkan bahkan saling merugikan. Apa jadinya anak bangsa kelak jika yang sering ditemuinya kini adalah para koruptor yang bergentayangan baik langsung atau sekedar lewat berita. Hendak dibawa kemana anak negeri ini jika semua tempat telah dipenuhi oleh budaya hedonis dan anarkhis.

Sudah saatnya sebagai bangsa yang dulunya tersohor dengan tingginya nilai-nilai luhur budaya timur, Indonesia kembali menghidupkan suri teladan dari para pendahulu bangsa yang memiliki track record positif dan spektakuler dalam membangun negeri ini!!!